Minggu, 27 Mei 2012

Tafsir Ibni katsir QS an-Nisa 59


Ibnu Katsir Rahimahullah berkata dalam Al Bidayah Wan Nihayah 13/119: Siapa yang meninggalkan aturan yang muhkam yang diturunkan kepada Muhammad Ibnu Abdillah Khatamul Anbiya, dan dia merujuk hukum kepada selainnya berupa ajaran-ajaran yang telah dihapus (mansukh), maka ia telah kafir.

Firman-Nya ta’ala: “Kemudian bila kalian berselisih pada sesuatu maka kembalikanlah kepada Allah dan Rasul, bila kalian beriman kepada Allah dan hari akhir.” (An Nisa: 59)
Ibnu Katsir Rahimahullah berkata : Maka ini menunjukkan bahwa orang yang tidak mengacu dalam tempat perselisihan kepada Al Kitab dan As Sunnah dan tidak merujuk kepada keduanya dalam hal itu maka dia tidak beriman kepada Allah dan hari Akhir.”
 
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah berkata dalam Majmu Al Fatawa 28/524: Dan suatu yang maklum secara pasti dari dienul muslimin ( agama islam ) dan dengan kesepakatan seluruh kaum muslimin bahwa orang yang melegalkan mengikuti selain ajaran Islam, atau mengikuti aturan (  hukum ) selain aturan Muhammad saw, maka ia kafir

dalil wajibnya MANQUL

Diangkatnya ilmu terjadi dengan diangkatnya (diwafatkannya) para ulama, sebagaimana ditunjukkan dalam hadits ‘Abdullah bin ‘Amr bin Al-‘Ash radliyallaahu ‘anhuma, ia berkata : Aku telah mendengar Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam bersabda :
إن الله لا يَقْبِضُ العلمَ انتزاعاً ينتزعُه من العباد، ولكنْ يقبِضُ العلم بقبض العلماء، حتى إذا لم يبقَ عالماً؛ اتَّخذ الناس رؤوساًَ 
 جُهَّالا، فسُئِلوا ؟ فأفتوا بغير العلم، فضلّوا وأضلوا.
Sesungguhnya Allah tidak akan mengangkat ilmu dengan sekali cabutan ( tiba-tiba ) dari manusia. Namun Allah akan mengangkat ilmu dengan cara mewafatkan para ulama. Hingga ketika tidak tersisa lagi seorang berilmu (di tengah mereka), manusia mengangkat para pemimpin yang jahil. Mereka ditanya, dan mereka pun berfatwa tanpa ilmu. Hingga akhirnya mereka sesat dan menyesatkan (orang lain)”
Shahih Al-Bukhariy, Kitaabul-‘Ilmi, Baab Kaifa Yaqbidlul-‘Ilm (1/194 –  Fathul-Bariy), dan Shahih Muslim, Kitaabul-‘Ilmi, Baab Raf’il-‘Ilmi wa Qabdlihi wa Dhuhuuril-Jahli wal-Fitan (16/223-224  Syarh An-Nawawiy).

Hikmah hadits ini adalah : 


- kerusakan akan terjadi bila ulama telah diwafatkan
- ulama diwafatkan pada saat orang belum berguru kepadanya
- meskipun Ulama memiliki banyak kitab , namun bila tidak berguru kepada ulama tersebut tetaplah tidak dibenarkan karena kerusakan agama pasti akan terjadi
-  saat ini banyak kitab agama di jual bebas dan mudah didapatkan , namun meruju hadits diatas , tetaplah membaca sendiri tidak dibenarkan , wajib berguru kepada seorang guru ( manqul )




perhatikan hadits dibawah ini 



Nabi bersabda:

تسمعون ويسمع منكم ويسمع ممن سمع منكم *رواه أبو داود

Artinya : “Kalian mendengarkan dan didengarkan dari kalian dan di dengar dari orang yang mendengar dari kalian “ HR Abu Dawud



hikmah hadits diatas kita dituntut untuk mendengar langsung bukan membaca , karena Rasulullah tidak bersabda kalian membaca dan dibaca orang-orang yang membaca dari kalian dibaca. sungguh aneh bin unik sesat - menyesatkan orang yang mengatakan kita cukup membaca saja. dia telah menyelisihi perintah Rasul-Nya dan dia adalah ahli bid'ah


Renungkanlah hadits dibawah ini 


"Nabi bersabda: Ambillah ilmu sebelum hilang, berkata shohabat ” bagaimana ilmu dapat hilang, wahai nabinya Alloh , sedangkan dikalangan kita ada kitab Alloh ?” maka nabi marah yang Alloh belum pernah membuat nabi marah seperti itu. Kemudian nabi bersabda : ” celakalah kalian, bukankah taurot dan injil itu masih ada dikalangan bani isroil, kemudian keduanya ( taurot dan injil ) tidak dapat mencukupi mereka sedikitpun, sesungguhnya hilangnya ilmu adalah hilangnya pembawanya. Sesungguhnya hilangnya ilmu adalah hilangnya pembawanya (isnadnya atau ulama’nya)" HR. Ad-Daromi dari Abi umamah 


hikmah dari hadits diatas adalah :



1. ilmu hilang bersamaan dengan wafatnya ulama

2. kitab-kitab peninggalan ulama tidaklah mencukupi didalam mempelajari agama , sebab yahudi dan nashroni memiliki kitab tetapi tidak ada yang mengajarkan kitab itu pada mereka ( terputus sanadnya )

3. Rasulullah mencela orang yang tidak berguru kepada ulama bahkan beliau menggambarkan itu adalah perbuatan yahudi dan nasroni yang menyebabkan kerusakan agama mereka.







sungguh rugi - merugikan , sesat - menyesatkan , neraka -me-neraka-kan orang-orang yang belajar ilmu agama dari hasil dia membaca sendiri , hasil copas lalu dijadikan sandaran hujah. tanpa dia pernah guru-berguru yang bersambung kepada penulis kitab, padahal jalan yang dia tempuh adalah jalan yahudi-nasroni yang sesat lagi bathil




Islam bukan sekedar mengerjakan Rukun Islam


shalat itu tidak berarti bila tauhidnya telah hancur. Bisa saja seseorang itu shalat, zakat dan berjihad, namun demikian dia itu kafir lagi halal harta dan darahnya dengan sekedar keterjatuhan dia pada pembatal “laa ilaaha illallaah”. Oleh sebab itu An Nawawi berkata di dalamnya: “Adapun sabdanya: “Apa boleh kami memerangi mereka?” Beliau berkata: “Tidak boleh selama mereka shalat,” di dalamnya terkandung makna yang lalu yaitu bahwa tidak boleh khuruj terhadap para khalifah dengan sekedar dhalim dan fasiq selama tidak merubah sedikitpun dari qawaaid dien ini ( hukum agama )

Syaikh Al'Alamah Hamd ibnu 'Atiq Rahimahullah berkata dalam kitabnya sabilun najah wal fikak min muwalatil murtadin wa ahlil isyrak 

'' sesungguhnya , banyak orang mengira bahwa bila mengucapkan dua kalimat syahadat , melakukan shalat 5 waktu dan tidak dihalangi dari mendatangi masjid , berarti ia telah menampakkan diennya ( agamanya ), meskipun ia hidup ditengah kaum musyrikin atau di tempat-tempat kaum murtadien.

sungguh orang yang mengira itu telah keliru dalam hal itu dengan kekeliruan yang paling buruk. dan ketahuilah ! sesungguhnya kekafiran itu bermacam-macam dan beraneka ragamnya mukafirat ( hal-hal yang membuat kafir ), setiap kelompok dari kelompok2 kekafiran memiliki macam kekafiran yan masyhur darinya dan orang muslim tidak dikatakan telah menampakkan diennya sehingga ia menyelisihi setiap kelompok itu dengan apa yang masyhur darinya dan terang2an menyatakan permusuhan terhadapnya serta bara' darinya.

beliau juga berkata dalam Ad- Durar As-Saniyah
'' sedangkan izh-harud dien ( menampakkan agama ) adalah ( dengan cara ) mengkafirkan mereka , mencela ajaran mereka , menjelek-jelekkan mereka , bara' dari mereka , berhati-hati dari mencintai mereka dan cenderung kepadanya dan menjauhi mereka .  dan izh -harud dien itu bukan hanya sholat ( maksudnya sholat tidak menjadi jaminan tidak dikafirkan ) ( juz al-jihad 196 )

Syaikh Ishaq Ibnu Abdirrahman berkata dalam juz Al Jihad dari kitab Ad Duras As Saniyah hal 141 '' dan klaim orang yang Allah butakan bashirah-nya bahwa idharudien adalah mereka ( musyrikin ) tidak melarang orang untuk beribadah atau belajar , ini adalah klaim yang batal. klaimnya tertolak secara akal dan syariat , karena kalau demikina maka hendaklah senang orang yang hidup di begara nashara , majusi dan india dengan hukum yahg bathil itu. karena shalat , adzan dan pengajian yang ada di negeri-negeri mereka....dan semoga Allah merahmati orang yang mengatakan :mereka mengira bahwa dien itu adalah..ucapan labbaika di padang pasir....sholat dan diam dari penguasa...berdamai dan berbaur denagan orang yang telah mencela dien ini.....sedang dien ini tidak lain adalah cinta , benci dan loyalitas...begitu juga bara dari setiap orang sesat.....


Syaikh Abul Wafa Ibnu Uqaid Rahimahullah berkata . '' bila engkau melihat posisi islam di tengan manusia pada zaman sekarang , maka jangan kau lihat berjubelnya mereka di pintu-pintu masjid dan gemuruh mereka dengan labaika , namun lihatlah keselarasan mereka terhadap musuh-musuh syari'at. maka berlindunglah.....berlindunglah pada benteng dien ini dan berpeganglah pada tali Allah yang kokoh , serta cepatlah bergabunglah dengan wali-wali Nya al mukminin dan hati-hatilah dari musuh -musuh-Nya yang selalu menyelisihi. sungguh , sarana mendekatkan diri kepada Allah sWT yang paling utama adalah membenci orang yang menentang Allah dan Rasul-Nya dan menjihadinya dengan tangan , lisan , dan hati sesuai kemampuan ( Ad-Durar , juz Al Jihad 238)


Tidak ada Udzur Jahil


TIDAK ADA UDZUR KARENA JAHIL (DALAM SYIRIK AKBAR) DEWAN RISET DAN BUHUTS ILMIYYAH Fatwa no: 9257 tanggal 22/12/1405 H

Pertanyaan pertama : Apakah setiap orang yang melakukan suatu amalan dari amalan kekafiran atau kemusyrikan dia itu langsung kafir perlu diketahui bahwa dia melakukan itu karena kejahilan, apakah dia dimaafkan (udzur) kebodohannya itu atau tidak? Apakah dalil-dalil yang menyatakan adanya udzur atau tidak ada?

Jawaban : Orang mukallaf  (yang dibebani kewajiban syariat) itu tidak diudzur karena
ibadah dia kepada selain Allah atau taqarrubnya dengan berupa sembelihan kepada selain Allah atau nadzarnya kepada selain Allah dan ibadah-ibadah lainnya yang merupakan hak khusus Allah, kecuali bila dia itu berada di negeri-negeri bukan islam dan belum sampai dakwah kepadanya maka dia itu diudzur karena belum
sampainya dakwah bukan karena kejahilannya,berdasarkan hadits riwayat Muslim dai Abu Hurairah ra dari Rasulullah saw, bahwa beliau berkata: Demi Dzat yang jiwaku berada ditanganNya tidak seorangpun dari umat ini, baik Yahudi ataupun Nasrani mendengar akan keberadaanku dan dia tidak beriman kepada apa yang aku diutus dengannya, melainkan dia itu pasti tergologn penghuni neraka Beliau saw tidak mengudzur orang yang mendengarnya, sedangkan orang yang hidup di negeri-negeri
islam sungguh dia telah mendengar akan Rasulullah saw, sehingga tidak ada udzur dalam masalah ushul iman karena kejahilannya. Adapun orang-orang yang meminta kepada Nabi saw agar menjadikan Dzatu Anwaath untuk mereka gantungkan senjata-senjata mereka disana, maka mereka itu adalah orang-orang yang baru masuk islam, dan mereka hanya meminta saja dan tidak melakukannya, sehingga yang terjadi dari mereka itu adalah bertentangan dengan syariat, dan Nabi saw telah menjawab mereka dengan (jawaban) yang menunjukan bila mereka melakkukan apa yang mereka pinta tentu mereka kafir.

Ketua             : Abdul Aziz Ibnu Abdillah Ibnu
Baz
Wakil Ketua        : Abdurrazzak Afifi
Anggota           : Abdullah Quud dan Abdullah
Ghudayyan.


[Pertanyaan]
Apakah kebodohan merupakan udzur terhadap pembatal keislaman ?
[Jawab]
Kebodohan itu berbeda-beda. Jika orang yang bodoh tersebut tidak memungkinkan mempelajari (pembatal keislaman) maka kebodohan seperti ini mendapatkan udzur
hingga dia menemukan orang yang bisa mengajarkannya hal tersebut. Keadaan ini semisal orang yang tinggal terpisah dari negeri kaum muslimin yang disana tidak ada orang melainkan orang kafir, maka kebodohan orang ini merupakan udzur baginya. Adapun orang yang tinggal diantara kaum muslimin dan di negeri kaum muslimin, dia bisa mendengarkan Al Quran, hadits, perkataan ulama dibacakan maka kebodohan yang semisal bukanlah merupakan udzur karena telah sampai kepadanya hujjah namun ia tidak memberikan perhatian terhadapnya, bahkan ia mengatakan, Ajaran semisal ini
adalah ajaran Islam Wahabiyah, Agama Islam Nejed, Agama Islam si Fulandst.
Hal ini juga mereka katakan terhadap tauhid dengan perkataan yang semisal, agama demikan adalah agamanya Ibnu Abdil Wahhab padahal yang demikian adalah
agamanya Rosululloh shallallahu alaihi was sallam . Sedangkan Syaikh Ibnu Abdil Wahhab tidaklah membawa ajaran baru melainkan hanya mendakwahkan ajaran
Rosululloh shallallahu alaihi was sallam. Mereka juga menisbatkan ajaran tauhid dengan sebutan ajaran khowarij, sehingga mereka mengatakan bahwa orang yang
bertauhid dengan tauhid yang diajarkan Rosululloh adalah orang khowarij. Maka
apakah orang yang demikian mendapatkan udzur (berupa kebodohan) ? Mereka adalah orang-orang yang sombong terhadap ilmu tauhid yang tidaklah mendapatkan udzur
atas kebodohan mereka terhadap tauhid.
Diterjemahkan dengan perubahan seperlunya dari Durus Fii Syarh Nawaaqidul
Islaam karya Syaikh DR. Sholeh bin Fauzan Al Fauzan hal. 29 terbitan Maktabah Ar Rusyd, Riyadh, KSA Selesai Sholat Tarawih, Sigambal, 21Romadhon 1432 H/21 Agustus 2